Oxfam mencatat, dengan populasi 260 juta jiwa, Indonesia berada di peringkat enam ketidaksetraan terburuk di dunia setelah Thailand di Asia.
Oxfam menilai, ketimpangan ini akibat "fundamentalisme pasar" yang memberikan peluang besar orang-orang kaya untuk mendapatkan lebih besar keuntungan dari pertumbuhan ekonomi di negeri ini.
Tak tanggung-tanggung, Oxfam juga menyebut untuk menghapus kemiskinan di Indonesia selama setahun, cukup terselesaikan dengan kekayaan hanya satu dari empat orang terkaya tersebut, seperti taipan-taipan rokok Budi Hartono, Michael Hartono dan Susilo Wonowidjojo.
Laporan itu mengatakan kemiskinan ekstrem, yakni pendapatan harian kurang dari US$1.90 atau Rp 25.000, telah turun drastis sejak tahun 2000. Akan tetapi 93 juta rakyat Indonesia masih hidup dengan kurang dari Rp 28.000 per hari, yang masuk ke dalam garis kemiskinan moderat menurut definisi Bank Dunia.
Oxfam mengatakan ketidakstabilan sosial dapat meningkat jika pemerintah tidak menanggulangi kesenjangan antara yang kaya dan miskin.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah mengatakan bahwa pengurangan ketidaksetaraan adalah salah satu prioritas utama pemerintahannya. Sebuah survei Bank Dunia tahun 2017 menunjukkan tingginya tingkat keprihatinan publik mengenai kesenjangan kekayaan.
Laporan itu mengatakan pengumpulan pajak Indonesia adalah yang terendah kedua di Asia Tenggara dan sistem pajak “gagal memainkan peran penting dalam mendistribusikan kembali kekayaan.”
Untuk meningkatkan pengumpulan pajak, agar anggaran rendah untuk layanan-layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan dapat ditingkatkan, Indonesia memerlukan tingkat pajak yang lebih tinggi untuk kelompok-kelompok berpendapatan tertinggi, pajak warisan yang lebih tinggi dan pajak kekayaan baru, menurut laporan itu.
Mengatasi pengemplangan pajak juga penting, kata Oxfam, mengutip data Dana Moneter Internasional yang menunjukkan bahwa $101 miliar mengalir dari Indonesia ke surga-surga pajak tahun 2017. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar